Andalusianews

Andalusianews

26 November 2014

Terkikisnya Sensitifitas Mahasiswa

Terkikisnya Sensitifitas Mahasiswa
Oleh :  jupriman
Mahasiswa manajemen FE Unand
Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim indonesia komesariat Unand

Tahun 1998 merupakan tahun yang bersejarah bagi masyarakat Indonesia terutama bagi kalangan Mahasiswa. Kezaliman Pemerintah saat itu telah membuat   Mahasiswa di semua daerah terpanggil jiwa raganya untuk berjuang meleyapkan penindasan.  Berjuang diatas panji kebenaran. Membela masyarakat Indonesia yang menderita akibat kesewenangan Pemerintah yang berkuasa. Pada akhirnya rezim Suharto yang diktatorpun berhasil ditumbangkan.
Perjuangan berat yang dilakukan oleh para Mahasiswa saat itu tidak terlepas dari rasa cinta terhadap bangsa dan  tanah air. Rasa cinta hasil dari warisan para pendahulu bangsa. Cinta yang tidak ingin melihat penderitaan dan kesensaraan menimpa  masyarakat yang ada di dalamnya.  Dengan cinta itu jugalah para mahasiswa tergerak hatinya  untuk berperan aktif  mejaga kestabilan dan  keutuhan bangsa.

Peran fital Mahasiswa sebagai Sosial Control mampu dilaksanakan dengan baik. Setiap kebijakan yang nyata  tidak berpihak kepada Rakyat, maka mereka pun segera bertindak untuk memperjuangkannya. Ketika Rakyat kecil menjerit akibat kebijakan yang diberlakukan oleh Penguasa, maka dengan spontan mahasiswa akan bereaksi. Bereaksi menuntut Penguasa agar tidak bertindak semena-mena terhadap rakyat. Bagi mereka Kepentingan pribadi tidaklah menjadi hal yang lebih pioritas ketika rakyat kecil masih merasakan penderitaan. Tidak hanya membela kepentingan rakyat kecil semata, namun  kebijakan yang dianggap tidak menguntungan kedaulatan bangsa juga menjadi perhatian mereka. Hal inilah yang membuat Mahasiswa mempunyai tempat tersendiri di hati masyarakat Indonesia.
Namun nilai-nilai perjuangan yang dahulunya dimiliki  oleh para mahasiswa di era perjuangan reformasi tidak lagi  sepenuhnya dihayati oleh mahasiswa sekarang. Kecendrungan mahasiswa saat ini lebih suka memikirkan permasalahan pribadi ketimbang harus memikirkan permasalahan yang melanda bangsa. Tujuan kuliah dinilai semata-mata sebagai sarana untuk membekali diri agar mampu bersaing  dan   mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Mereka lebih senang berlomba-lomba untuk mendapatkan nilai akademis yang tinggi agar tujuan yang diingikan itu dapat tercapai. Peranan mahasiswa sebagai agent of cange tidak lagi mampu menjadi penyemangat mereka untuk ikut serta dalam membangun sendi-sendi kehidupan bangsa.
Rasa apatispun mulai menjamur di kalangan mahasiswa. Mereka cendrung  disibukan  dengan kesibukan priabadi dan gaya hidup yang edonisme. Kepekaan terhadap linkungan sosial tidak lagi terasah dalam diri  mereka. Semuanya tumpul dan kaku. Kebiasan mahasiswa yang identik dengan berdiskusipun tidak lagi melekat pada mereka. Mereka lebih cendrung mengunakan waktunya belajar di kampus dan mengunakan waktu luangnya untuk kesenangan pribadi. Tampa ada keinginan untuk ikut serta memikirkan permasalahan yang terjadi di sekitarnya.
Sikap apatis yang mewabah di kalangan mahasiswa sekarang tentu tidak datang dengan sendirinya. Munculnya sikap apatis tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sistem pendidikan yang diterapkan di Perguruan Tinggi. Sistem dimana mahasiswa dituntut untuk lulus cepat dengan waktu yang terbatas.
Pemberlakukan peraturan Permendikbud tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang membatasi pendidikan sarjana masimal 5 Tahun tentu akan memberikan kontribusi besar terbentuknya sikap apatis. Mahasiswa tidak lagi diberikan ruang gerak untuk mengambil peran dalam pembangunan sendi-sendi kehidupan berbangsa. Mereka dituntut fokus kepada keilmuan masing-masing. Tampa harus memikirkan permasalahan lain diluar bidang ilmu yang dipelajari.
Berdalih menciptakan lulusan yang pakar terhadap keilmuan, pola pikir mahasiswa mulai dirombak. IPK tinggi dijadikan tolak ukur utama untuk memenangkan persaingan. Sehingga mayoritas mahasiswa cendrung berlomba-lomba supaya mendapatkan IPK tinggi. Orentasi nilai pun membuat mereka tidak lagi peka terhadap permasalah yang terjadi di linkungan karena kurang  berinteraksi dan tidak mau terlibat dalam organisasi.

Pemberlakukan sangsi DO pun dijadikan alat  untuk menakuti mahasiswa. Mereka harus lulus dengan waktu yang dibatasi. Tidak hanya itu, ancaman pencabutan beasiswapun juga dijadikan sarana untuk membuat mahasiswa hanya berfokus pada studinya dan acuh terhadap lingkungan. Secara tidak sadar sistem yang diberlakukan ini tentunya akan mengikis dan mematikan sensitifitas mahasiswa.

Kalaupun mereka yang sekarang berorganisasi, tidak sedikit diantara mereka yang hanya menjadikan organisasi sebagai alat untuk mendapatkan pengakuan aktivis. Aktivis yang sibuk mengumpulkan sertifitas demi memperbanyak nilai SAPS sebagai syarat untuk wisuda.   Fungsi  organisasi sebagai sarana melatih softskill dan membangun sensitifitas dialihkan menjadi event organizer. Bahkan tidak jarang organisasi sekelas Badan Eksekutif Mahasiswa juga melakukan hal yang sama. Mereka merasa prestis jika mampu atau berhasil membuat kegiatan yang dapat menghadirkan orang banyak ketimbang turun kejalan berjuang untuk membela masyarakat kecil yang tertindas.

Kondisi mahasiswa yang tidak lagi sensitif terhadap realitas sosial terasa nyata dirasakan sekarang. Ketika adanya kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil, tidak ada lagi yang mau turun kejalan kecuali hanya sebahagian kecil saja. Sebagian besar lainya memilih untuk tutup telinga dan memejamkan mata terhadap kehidupan masyarakat kecil yang rentan menderita akibat  kebijakan pemerintah.

Ajakan untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang tertindas tidak lagi diindahkan. Mereka lebih memilih mengunakan waktunya untuk menikmati fasilitas kampus seperti layanan Hostspot dengan dalih mengerjakan tugas ketimbang ikut serta berjuang dengan mahasiswa lainya. Kondisi seperti  ini telah membuat Mahasiswa yang turun ke jalanpun tidak lagi memiliki begining power kuat dalam melawan kebijakan pemerintah yang semena-mena. Jumlah mereka yang hanya segelintir membuat Keberadaan mereka tidak lagi dianggap suatu hal yang harus ditakuti. Sehingga pihak penguasa leluasa bertindak semaunya demi kepentingan pribadi atau kelompok.(***)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar